Rabu, 22 Juni 2016

rasa bersalah

Kuredupkan sinar pencahayaan dikamarku hingga tak ada sedikitpun cahaya yang masuk. Kurenungkan semua kebodohan yang telah kulakukan. Kubuka mataku untuk memandang ke atas yang gelap gulita. Mataku sudah lama berkunang, namun kegelisahan serta kebimbangan yang membuatku susah untuk memejamkan mata. Terasing dalam sepi, sejenak ku terdiam merenungkan gerangan apa yang telah kuperbuat pada tidur malamku.

Terlintas rasa bersalah dan rasa takut akan kehilangan. Sekarang aku tau gimana rasanya takut akan kehilangan orang yang kusayang. Selalu terbesit rasa malu yang telah kuperbuat sehingga ku tak berani lagi untuk menyapa dan menyayangimu. Gelisahku mengajak damai dengan waktu, tapi ku tak bisa. Ku rebahkan diri dan kupejamkan mata. Bodohnya aku!!! Hatiku bergumam. Ada seseorang yang telah kukecewakan. Gelisah dihatiku, kacaw pikiranku. “Ah, lagi dan lagi hanya rasa bersalah yang tak kunjung mau berdamai dengan diriku. Aku usap ujung mataku agar tak jatuh air mata ini. Ingin rasanya kulampiaskan kebodohanku terhadap diriku sendiri yang takan pernah bisa kulupakan.

Kunyalakan lampu dan kulihat dinding kamar yang mengelilingiku, terasa sempit dan membuat fikiranku semakin menyempit. Akhiran pandanganku tertuju pada sebuah foto walpaper  yang ada di handphone ku. Tertatih ku beranjak dari tempat tidur, kugenggam perlahan dan ku tatap foto seseorang itu. Aku mencoba meminta maaf atas kelakuan yang telah kuperbuat. “Taukah engkau? aku menunggumu disini mendengar supaya engkau memaafkan diriku. Selalu ku tunggu kabar darimu, namun tak satu pun yang datang padaku.” Kristal bening kembali jatuh mengenai pipiku dengan derasnya. “Tak sadarkah kau betapa kau kurindukan? Dimana? Dimana kau? Aku ingin minta maaf dengan tulus dari hati untukmu. Tidak kah kau mengingatku? Tidakkah lagi ada rasa di hatimu yang dulu untukku?” Histerisku dengan isak tangis yang tak dapat kubendung.

Amarah bercampur emosi pun menjadi-jadi. Ku coba tuk menenangkan fikiran. Berjuta pertanyaan bergantung di atas kepalaku. Akan kah aku kehilangan orang yang kucinta. Butiran peluh kini menggenangi dahiku, menandakan ketakutan datang lagi menyergapku. Sanggupkah aku kehilangan ia yang telah lama kuukir wajahnya dan ku lukis namanya di hatiku?

Jantungku tiba-tiba berhenti berdetak, bukan mati. Hanya saja sedikit melambat. Dan malam semakin larut ku coba perlahan memejamkan mataku. Namun sinar sang rembulan memancing agar aku ke luar melihatnya. Aku beranjak dari tempat tidur, kubuka pintu jendela, sinar rembulan begitu indah, membuat tangisku tersedu menjadi senyuman. Senyum kesedihan. “Bulan, kenapa kau tampak begitu indah? Kenapa hatiku tak dapat indah seperti dulu saat kau menyinari malam dan hatiku? Bulan kumohon, bawa bintang menari iringi langkahku, dan malam hadir bawa diriku berjumpa dengannya. Kumohoon…” Lagi-lagi aku menangis.

Mataku semakin mengantuk, namun kegelisahan ini terus menghantuiku. Sudah semakin larut. Aku harus tidur, namun aku tak bisa. Ku cari handphone dan earphone, kudendangkan lagu yang menjadi lagu kenangan aku dan dia. Kuberdendang dengan kesepian dan kesunyian. Perlahan mataku tak lagi berkedip. Namun fikiranku tetap saja memikirkan bayangan itu.

Ya Tuhan, apa salahku tak bisa dimaaf kan? Begitu berat beban yang kini ku tanggung. Ku mohon berikan aku hidayahmu. Apa yang harus kulakukan kini, aku takut kehilangan kamu. Jika itu terjadi. Sanggupkah aku setiap malam harus begini? Ya, ya… Aku akan tetap bertahan melawan kesepian, kesunyian dan kerinduan ini sendiri. Mungkin ini ujian cintaku, badai yang datang apa yang harus dilakukan? Jika berdiam maka akan hancur berantakan. Satu-satunya cara aku tetap harus berjalan, untuk berjalan hanya ada 3 penompang. Yakni Ihktiar, do’a dan KITA. Aku akan tetap menunggu bayangan itu memaafkan diriku dan jika itu terjadi aku berjanji kejadian ini takan terulang kembali…

ATM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar